You Made Me Feel Comfortable...

 Well..

Langit Jogja mulai menghitam. Angin perlahan tapi pasti berhembus lebih kencang. Daun-daun diranting pepohonan mulai berjatuhan. Mata-mata didalam kelas mulai melempar pandang keluar jendela. Dan tes.. tes… tes.. Hujan mengguyur seantero Jogja. Bermula gerimis dan tak berapa lama, menderas. Salah seorang mahasiswi yang turut dalam kelas mulai merenung ditengah-tengah dosen yang masih terus memberi penjelasan tentang statistik yang bercampur aduk dengan suara hujan yang bergemuruh.

Hujan bukanlah suatu halangan, namun ia adalah rahmat yang harus disyukuri. Allahumma shayyiban naafi’an. Iya, sekali lagi, hujan adalah rahmat bagi seluruh alam. Kenapa? Coba kita renungkan pernyataan-pernyataan kecil berikut ini. Tumbuhan akan terpenuhi kebutuhan makannya dan bisa tumbuh dengan baik ketika disiram air hujan. Biji-bijian sisa buah yang dimakan burung dan hewan lainnya akan tumbuh menjadi tumbuhan baru karena disiram air hujan. Hewan-hewan liar bisa merasakan kesejukan alam ketika disiram air hujan. Tanah tak akan tandus jika disiram air hujan. Hingga manusia, ketika sudah berbulan-bulan tak juga turun hujan bahkan sampai shalat istisqa', maka akan sangat bersyukur dengan turunnya hujan. Bukan hanya ketika kemarau panjang dan tiba-tiba hujan, barulah kita mensyukuri nikmat hujan yang diberikan oleh Allah. Pada dasarnya jika kita muslim yang baik maka bagaimanapun keadaannya haruslah tetap bersyukur. 

Sebagaimana nasib manusia yang selalu berputar, begitu pulalah siklus alam. Ada saatnya musim hujan tiba, berganti musim kemarau, berganti musim semi, dan berganti musim-musim yang lain. Ini adalah siklus alam yang harus dilalui supaya bumi ini tetap stabil. Yah, jika dikaji lebih dalam, hujan memberikan manfaat yang sangat banyak bagi semua makhluk. Tak terbayangkan jika tidak turun hujan selama beberapa bulan saja, bagaimana biji-bijian akan tumbuh menjadi tanaman baru? Bagaimana tumbuhan akan terus tumbuh? Bagaimana tanah tidak tandus? dan bagaimana manusia bisa beraktifitas seperti biasa jika bumi kekeringan tanpa ada air? Sumur-sumur mengering? Sungai-sungai tak teraliri air? Tanaman-tanaman mulai menguning dan kering? Ah entahlah, sungguh tak terbayangkan. Tuhan memanglah Maha Kasih dan Maha Sayang. Rahasia dibalik rahasia yang memberikan banyak manfaat. Dan pemberian itu benar-benar dibutuhkan. Nasykuruka Yaa Rabb..

Dosen menyudahi kelas disore itu. Dan mahasiswi itu membuyarkan renungannya. Memasukan segala perlengkapan belajar kedalam tas dan bergegas keluar bersama teman-temannya.  Hujan masih mengguyur seantero Jogja. Mahasiswi itu memilih duduk sebentar diruang terbuka untuk belajar di lantai tiga bersama teman-temannya, menunggu hujan agak mereda. Si biru masih tetap ia biarkan didalam tasnya.

 Hujan tak kunjung mereda juga. Ia putuskan untuk nekad pulang. Takut jika terlalu lama menunggu reda akan kemalaman di Kampus. Dan itu tak ia inginkan. Sore itu jarum jam sudah menununjukkan pukul lima (kurang lebih).

Akhirnya si biru keluar juga. Bersama si biru ia menelusuri jalanan kampus. Tampak sepi, ya selain karena sudah sore, ini juga karena hujan yang mengguyur. Banyak mahasiswa lebih memilih untuk berteduh. Meski ada juga yang nekad menembus hujan tanpa payung (dkk). 

Mahasiswi itu menyusuri jalanan kampus. Si biru ia pegang erat-erat. Sepanjang jalan bola matanya harus jeli memilih jalan berpijak supaya tak masuk dalam genangan air. Dan jika tiba dijalan raya, selain memperhatikan genangan tapi juga harus memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Kenapa? Ya untuk melindungi si biru supaya tak tersenggol kendaraan.

Diperjalanan, mahasiswi itu melihat ibu-ibu penjual sate dan gorengan yang berteduh di teras tempat fhoto copy. Hatinya merasa iba melihat si ibu. Kasihan. Tak berhenti sampai disitu. Mahasiwi itu juga melihat bapak tukang bakso yang mendorong gerobak bakso ditengah hujan yang mengguyur. Hantinya lagi-lagi merasa iba. Yah, beginilah kerja keras untuk tetap hidup dan berjuang demi orang-orang terkasih, anak-anak, istri, suami. Semoga dimudahkan dan berkah ya Pak, Buk. Aamiin..

Mahasiswi itu teringat Ayah dan Ibu nan jauh disana, kampung halaman. Mereka pasti juga berjuang keras untuk putra-putri mereka. Yah, sedikit mengharu namun harus tetap tegar. Kan harus jadi wanita yang kuat, sederhana, selalu berusaha shalihah dan rajin belajar supaya cerdas serta siap berbagi kecerdasannya itu. Itulah pesan Ayahnya. “Ayah, Ibu, One day I will make you proud. I promise.” Batinnya.

Kakinya terus melangkah meski sesekali harus menjejak digenangan air. Mengingat jalanan yang dilalui banyak kendaraan. Tentu sebagai pejalan kaki harus lebih banyak berhati-hati dan mengalah.

Mahasiswi itu tersenyum saja. Saat hujan mengguyur seantero Jogja si biru selalu ada buatnya. Si biru yang melindunginya dari hujan dan yang menjaganya agar tidak basah kuyup.  

Berjalan. Terus berjalan dengan si biru itulah yang harus ia lakukan, hingga tiba diperaduan. Entahlah, mungkin si biru juga akan turut serta ambil bagian menjadi kenangan manis ditengah perjuangan menuntut ilmu. Si biru menjadi satu dari bagian cerita yang akan ia bagi suatu hari, saat ia sudah menjadi seperti sosok yang ia ingini dan diridhai oleh Tuhan-nya. Yah, suatu hari nanti.

Si Biru…… You made me feel comfortable. :D
Mahasiwi itu merasa bahagia.

Si Biru.. My Umbrella :)

14 April 2015. Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….