The Power of “Apa Kabar?”

Apa kabar? Mungkin ini kalimat sederhana yang paling sering diucapkan oleh siapapun. Dan yang sering dinarasikan sebagai sebuah kalimat yang cenderung dianggap biasa, hanya sebatas untuk berbasa-basi. Tapi tidak demikian denganku. Kalimat “Apa Kabar?” terdengar begitu istimewa di indra pendengarku. Tentu saja bukan karena tak ada yang menanyakan kabarku. Aku juga sama seperti kalian yang memiliki banyak sahabat, guru, ustadz, umi, buya dan yang lainnya.

Kembali ke fokus awal, “Apa Kabar?”, kalimat itu menjadi istimewa karena terlahir dari sebuah lisan yang mengucapkan dengan tulus. Ketulusan dari seorang wanita yang kupanggil “Umi”. Ya, umi yang mengajarku Tahfidz al-Qur’an saat di Pesantren tercinta. Pesantren Modern Al-Kautsar Al-Akbar, Medan, Sumatra Utara.

Seorang Umi yang sejak di pesantren selalu berbagi cerita, khususnya padaku dan dua sahabatku. Juga yang sering meminta kami turut serta membantu menyimak bacaan adik-adik yang hendak setoran hafalan pada umi.

Aku jadi teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu, saat masih duduk dibangku kelas enam ‘Aliyah (setara 3 SMA). Umi sedang ditinggal ustadz (suami beliau) ke luar kota. Wal hasil kami bertiga terpanggil untuk menemani umi (dirumah; kompleks rumah di pesantren bagi para ustadz yang sudah berkeluarga), selama ustadz pergi. Waktu itu umi sedang tak enak badan. Jadi beliau lebih banyak istirahat. Dan kami? Kami mencoba memasak di dapur. Memasak apa adanya. Ya, maklum saja waktu itu kami belum mahir betul dalam masak memasak. Kami hanya memasak sayur tumis yang yang awalnya hampir gosong lalu ditambah air, malah airnya kebanyakan lagi, wal hasil sayur tumis kami berubah menjadi sayur kuah dalam hitungan detik, haha. Meski begitu, sayur itu tetap habis kami santap bersama. Kan mubadzir kalau buang-buang makanan, hihi.

Oh iya, kembali ke fokus awal lagi, tentang “Apa Kabar?”. Dulu sebelum aku melanglangbuana jauh ke kota Pelajar ini, umi sangat mencemaskanku. Aku teringat perkataan beliau usai setor hafalan waktu dulu, dan kata-kata ini membuat hatiku mengharu biru.

“Rima, kalau saja umi bisa peluk Rima, umi pasti akan selalu peluk Rima saat di Jogja nanti.” Begitulah kurang lebih tutur umi waktu itu. Beliau begitu khawatir, melihat jauhnya aku menuntut ilmu dibanding dua sahabatku yang tetap menuntut ilmu di Medan. Aku juga hampir rapuh, berat juga meninggalkan sosok terkasih di pesantren, pikirku saat itu. Bukan bermaksud hiperbola atau juga berlebihan, dari awal aku bercerita memang selalu kucantumkan segala hal yang ada di pesantren. Bukan berniat untuk riya’ (Na’udzubillah), hanya saja aku masih selalu rindu dengan pesantren. Terlalu banyak kenangan manis disana. Ya, itu saja “Rindu yang tak bertepi”.

Nah, aku tetap melangkah ke kota Pelajar. Namun bukan berarti hubunganku berhenti sampai disitu saja dengan umi. Beliau sering sekali menelponku. Sedangkan aku hanya sesekali menghubungi beliau, kadang sedih juga dengan kesibukan didunia perkuliahanku maupun diluar itu, entah apa pun  itu.

Umi selalu menanyakan kabarku, kesehatanku, kuliahku dan hal lainnya. Rasanya tak cukup jika beliau hanya tahu tentang kabarku. Bahkan hingga detik ini pun beliau masih sangat mengkhawatirkanku. Bagaimana aku tak mengharu biru. Sebegitu sayangnyakah umi padaku? Tentu. Pasti begitu. Sungguh kami pun sangat menyayangimu, umi. Sangat sangatlah sayang.

“Apa Kabar?” kalimat itu selalu terucap dari umi saat menghubungiku, tentu saja kalimatnya sudah terbungkus rapi dengan cara berbeda, namun kesannya tetap hangat dan dirindukan. Bak tanya dengan penuh cinta dari seorang ibunda yang benar-benar tulus kepada buah hatinya.

Dengan seringnya beliau menanyakan kabarku disini, aku merasa sangat istimewa. Istimewa karena banyak sekali yang benar-benar perduli padaku. Kepedulian yang tulus setelah kepedulian Ayah dan Ibuku tercinta nan jauh disana. 

Tak jarang juga, semangatku berpacu sendiri setelah umi maupun sosok yang kurindukan lainnya di pesantren menghubungiku. Kata “Apa Kabar?” itu semacam penyemangat, bukan lagi sekedar basa-basi belaka. Kata yang kini baru kusadari telah membuat aku selalu ingat, siapa yang mengucapkan. Dan tentu membuat aku juga sadar, ternyata aku masihlah seorang santri meski sudah ribuan mil jarak memisahkan antara kami, “Dulu kau santri. Sekarang kau santri, dan nanti kau tetaplah seorang santri.” Kata yang selalu kuingat. Dan juga sebaliknya, menjadi “memo” yang selalu mengingatkanku akan muasalku. Pesantren.

Mungkin pada dasarnya ini hanyalah sebuah renungan kecil, tentang bagaimana hal-hal yang dianggap sepele bisa berimbas dan bermanfaat banyak bagi orang lain. Contohnya hanya dengan menanyakan sebuah kabar yang benar-benar terlahir dari relung hati yang paling dalam, itu sudah cukup mampu membuat yang menerima tanya itu senang, bahagia, dan merasa dirindukan. Maka, tak ada salahnya kita sering bertanya kabar Ayah dan Ibu kita, guru-guru kita, Ustadz/ustadzah kita, sahabat-sahabat kita, dan semua orang yang turut andil dalam mewarnai hari-hari kita.

Semoga bermanfaat. :D

"Dari Said bin Abi Said dari Abu Hurairah, ia berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang senang untuk dibentangkan pintu rizkinya dan ditambah kenikmatannya maka hendaklah ia menyambung silaturrahim." (HR. Imam Bukhari) 

Photo by Mr. Google


--Salam hangat dari Kota Pelajar
20 April 2015, Yogyakarta.
Bersama suara gemericik air; denting jarum jam; dan ditemani secangkir kopi panas, Good Day; Satu jam setengah menjelang tengah malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….