SURAT KECIL UNTUK CINTA (Part 2)


“Surat Kecil Untuk Cinta”

Cerpen sastra


Setelah selesai mengurus pendaftaran, segera ia bergegas pulang ke kosnya. Namun di parkiran ketika Ais sedang mengambil motor bersama fatimah, mereka bertemu dengan seseorang.

"Nyuwun sewu.. daftar santri?" Tanyanya.

"Iya mas..." Jawab Ais singkat.

"Yang mau daftar sinten (Siapa)?"

"Saya.." Jawab Ais..

“Fatimah ndak sekalian?”

Ndak mas, Ais saja hehe” Jawab Fatimah.

“Maaf, ada hal apa pak ke pondok mas?” Ais melanjutkan.

“Ada urusan sedikit, tapi sudah selesai. Ini mau pulang,” sembari senyum tersungging dibibir mungil pemuda itu, “Kalau begitu pamit dulu ya, Assalaamu’alaikum.” Bergegas pemuda dengan sepeda motornya melesat meninggalkan pondok.

Tak menyangka, Ais dan Fatimah dipertemukan lagi dengan Nizamuddin, sosok yang pernah menjadi dosen pengganti di kelas mereka.

***

Seperti biasa dua gadis berdarah Aceh dan Jawa itu disibukkan dengan perkuliahan serta organisasi intra maupun ekstra kampus yang mereka geluti. Ketika Ais dan Fatimah sedang bersiap kuliah, pesan masuk ke ponsel Ais.

  
Assalaamu’alaikum,.

Diberitahukan kepada saudari Aisyah Al-Hamra untuk bisa mengikuti Placement Test  Madrasah Diniyyah  dan Ma’had Aly Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta pada hari kamis, 07 Agustus 2012 di lantai 2 tempat di gedung Madrasah Aliyah.
Wassalaamu’alaikum..

Karena hari H sudah dekat, Ais harus sudah mulai memuraja’ah dan membuka-buka lagi kitab-kitabnya ketika di pondok yang lama untuk persiapan Placement Test di Pondok Pesantren Wahid Hasyim.
Dengan sungguh-sungguh ia belajar dan tibalah hari dimana ia di uji, mulai dari test tulis sampai dengan tes lisan. Setelah selesai di uji, Ais ditempatkan di kelas Uula yakni kelas ditingkatan kedua. Tingkat pertama disebut I’dad, tingkat kedua disebut Uula, tingkat ketiga disebut Wustha, dan tingkat keempat disebut ‘Ulyaa.
Sebagai santriwati ia menjalani hari-harinya dengan berbagai kegiatan, mulai dari belajar sampai mengajar tanpa meninggalkan fokus terhadap kuliahnya. Hingga tiba saatnya ia sudah menginjak semester akhir yang disibukkan dengan skripsi untuk wisuda dan menjadi sarjana.
Pukul lima sore, Ais masih di kampus untuk memberikan skripsi  yang sudah direvisi. Ada rasa lega ketika skripsi sudah diserahkan kepada dosen pembimbing dan ke perpustakaan. Itu berarti esok hari ia benar-benar akan diwisuda. Ketika sedang duduk bersama teman-teman di lobi Fakultas, ponsel Ais berdering karena ada pesan masuk. “Nak, Ayah dan Ibu sudah sampai di Bandara”. Betapa senangnya hati Ais dan ia ucapkan syukur berkali-kali. “Alhamdulillaah, iya Ayah. Ais jemput ke Bandara sekarang”. Jawabnya. Bergegas Ais pamit  ke teman-teman untuk pulang duluan, “Afwan (maaf) teman-teman Ais pulang dulu ya, mau jemput Ayah dan Ibu di Bandara”. Sambut Risa, “Cieee yang mau wisuda”. Ais hanya tersenyum sambil berlalu. “Hati-hati ya Ais, salam untuk Ayah dan Ibu, jangan lupa juga besok bawa oleh-olehnya ya dari Aceh”. Teriak Listiana. “ In syaa Allaah ya, yang penting siapin fulusnya (uangnya) yang banyak hehehe, Assalaamu’alaikum”. Jawab Ais. “ Siap bos, wa’alaikumus salaam”. Jawab mereka serempak.
Keluar dari Fakultas Ais bertemu dengan Nizam, kebetulan ia juga baru keluar dari pascasarjana yang kebetulan bersampingan dengan fakultas Ais.
 Assalaamu’alaikum” sapanya diiringi senyum.
Wa’alaikumus salaam ..
 “Ais mau pulang? ”tanyanya.
“Ya Mas. Mau jemput Ayah dan Ibu di Bandara”.
 “Oh begitu. Ya sudah hati-hati dijalan. Saya  juga mau pulang. Duluan ya Ais, Assalaamu’alaikum”.
Iya Mas, wa’alaikumus salaam.”
 Nizam bergegas ke parkiran  mengambil motornya dan meninggalkan Ais sembari tersenyum. Jujur sejak awal Ais memang terkesima dan kagum dengan sosoknya. Tapi ia simpan  rapi semua rasa itu di relung hati yang paling dalam. Ia takut syaithan  mencari celah dan membisikkan nyanyian-nyanyian mereka supaya Ais menyalahi perasaannya.
Pukul lima lewat tiga puluh menit. Ia tiba di Bandara Adi Sucipto dan segera bergegas menuju ruang tunggu. Menunggu dengan penuh semangat dua bidadari yang amat sangat ia cintai, Ayah dan Ibu. Tak berapa lama paras itu pun muncul dari pintu keluar dengan menenteng satu tas  dan satu kotak kardus. Langsung Ais bergegas menuju Ayah dan Ibu, ia raih tangan mereka dan  ia kecup satu persatu serta peluk mereka dengan air mata yang berkucuran. Rindu yang sudah 3 tahun lamanya harus Ais pendam, kini ia tumpah  ruahkan. Mereka peluk tubuh ringkih Ais dengan begitu hangatnya, mereka kecup kening Ais dengan tulusnya. “Ayo Ayah, Ibu ke rumah ustadzah Ais.” Segera mereka bergegas menaiki taxi yang sudah Ais pesan sebelumnya. Alasan Ais mengajak kedua orangtuanya ke rumah ustadzah Sayyida karena kedua orangtuanya tak bisa menginap di pondok Ais.
Dalam  perjalanan  menuju  rumah ustadzah Sayyida yang memang sangat dekat dengan Ais, banyak hal yang mereka perbincangkan, canda tawa terasa begitu indah. Ayah Ais dengan antusiasnya bertanya banyak hal tentang Jogja. Bahkan supir taxi juga ikut berbincang-bincang dengan kami.
“ Ini rumah ustadzah Sayyida Yah, Bu”. Tegas Ais ketika taxi tiba di depan rumah. Ia tenteng tas ke dalam pelataran rumah ustadzah Sayyida dan Bapak membawa kotak kardus.
Yaa Allaah Ais Alhamdulillaah sampai juga”. Sapa ustadzah diteras rumah. Tegur sapa terjalin begitu hangat dengan keluarga kecil ustadzah Sayyida yang belum dikarunai putra maupun putri, sehingga beliau begitu menyayangi santri-santrinya termasuk Ais yang begitu dekat dengannya. Karena bertepatan pukul enam sore tiba di rumah, mereka segera berwudhu dan menunaikan shalat maghrib berjamaah. Setelah itu makan bersama dan berbincang-bincang.
Pukul tiga lewat tiga puluh menit Ais bangun untuk mengerjakan shalat tahajjud setelah itu membaca Al-Qur’an dan memuraja’ah (mengulang) hafalan Qur’annya. Adzan subuh berkumandang pukul empat lewat dua puluh menit. Ia bangunkan Ayah dan Ibu untuk menunaikan shalat subuh berjamaah beserta dengan keluarga ustadzah Sayyida pula. Setelah itu ia membantu ustadzah dan ibuya memasak untuk sarapan, kemudia Ais bergegas mandi dan persiapan dengan baju untuk wisuda. Tibalah hari yang ia nanti-nantikan, 25 Agustus 2014 akan menjadi saksi sejarah dalam hidupnya. Itulah pekikan hatinya. Ketika selesai bersiap-siap Ais beserta keluarga dan keluarga ustadzah Sayyida sarapan bersama setelah itu bergegas menuju kampus.
Ketika Ais kenakan  toga, disaksikan banyak mata yang memandang, mata ia tertuju pada dua sosok di kejauhan. Ia tatap mereka lekat-lekat dua bidadari yang selalu Ais rindukan “Ayah dan Ibu”. Senyum tulus Ais tangkap dari paras mereka. Hati Ais berdesir dan berkali-kali melantunkan syukur di relung hati. Tak ayal ia pun bersujud syukur ketika dinobatkan sebagai Mahasiswa terbaik wisuda kali ini degan IPK 4,00 (cumlaude) dan di saat itu pula di umumkan juga bahwa beasiswa yang ia ajukan  ketika menjelang wisuda melalui kerjasama kampusnya dengan kampus lain diterima. Beasiswa melanjutkan study ke jenjang S2 di Turki. “Asykuruka ‘ala kulli haal yaa Rabb” bisik hatinya  ribuan kali. Ayah dan Ibu segera menghampirinya ke panggung. Mereka peluk Ais erat-erat. Tertangkap paras mereka penuh dengan air mata bangga. Mereka kecup pipi dan kening Ais. Seusai itu Ais pun memberikan sambutan. Dalam sambutan nya, ia ucapkan terima kasih untuk kedua orang tuanya,  para dosen, Kyai di pondok, ustadz serta ustadzah dan teman-teman. Bergemuruh dan riuh dengan tepuk tangan ketika Ais usai memberikan sambutan. “Saya bangga padamu teman.” Tegas Listiani sembari merangkul Ais dengan penuh tangis ketikaturun dari panggung. “Saya juga bangga padamu Listiani.” Jawab Ais penuh isak tangis.
Ayah dan Ibu menemui dosen pembimbing akademik Ais untuk berbincang-bincang. Ketika Ais dan  Listiani sedang mengobrol dengan penuh canda tawa di teras Gedung  Multiperpous, Nizam datang menghampiri dengan membawa kotak kado berwarna biru yang dililit pita berwarna biru pula.
Assalaamu’alaikum” sapanya sembari duduk di samping Ais dengan senyum.
Wa’alaikumus salaam..” jawab Ais dan Listiani serempak.
 Saya bangga padamu Ais, kepada Listiani juga.Sselamat ya atas kesuksesannya” tegas Nizam diiringi senyum.
 “Ini belum apa-apa Mas, Ais harus terus belajar agar menjadi lebih baik lagi.”
 “Tetap semangat, Allaah akan mengiringi langkah hamba-Nya yang terus berusaha menjadi lebih baik, In syaa Allaah”. Jawab Nizam dengan penuh keseriusan.
In syaa Allaah ..” jawab Ais dan Listiani diiringi senyum.
“ Kakak ada kado untuk Ais”. Sambil memberikan kotak kado berpita biru yang ia pegang dan diberikn kepada Ais.
Ais agak sungkan menerimanya. Namun, Listiani menyenggol tangannya sembari mengedipkan mata.
 “Terima kasih MasAis renggut kadonya diiringi senyum. Yang dibalas dengan senyuman pula.
“Oya ini buat Listiani juga ada.”
“Wah, makasih mas.” Listiani dengan antusias mengambil pemberian Nizam.
“Maaf  ya Ais, Listiani. Saya buru-buru mau ke pascasarjana nih, sampai ketemu di Turki Aisyah Al-Hamra (nama lengkap Ais) Assalaamu’alaikum”. Tegasnya sambil berlalu meninggalkan kami.
Wa’alaikumus salaam”. Jawab Ais dan Listiani serempak namun pelan.
Mas Nizam mau  ke Turki juga, Ais? janjian ya?” Tanya listiani sambil mencubit kedua pipi Ais.
 “Ais enggak janjian  sama Mas  Nizam” Jawab Ais sambari menampik tangan listiani yang mencubit pipinya.


Bersambung...

Kota Pelajar 
Yogyakarta, 20 Juli 2014 
23 Ramadhan 1435 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untukmu Lelaki Hebatku, Terimakasih untuk Semua Rasa Cemburu yang Kau Berikan.

Grojokan Sewu: Tawangmangu

Kembali ke Blitar; Aku Datang….